Cast: Chris Evans, Hayley Atwell, Hugo Weaving, Sebastian Stan, Toby Jones, Samuel L. Jackson, Dominic Cooper, Tommy Lee Jones, Stanley Tucci, Neal McDonough
Director: Joe Johnston
Writers: Christopher Markus, Stephen McFeely base on Captain America by Joe Simon and Jack Kirby
Produksi: Paramount Pictures
Writers: Christopher Markus, Stephen McFeely base on Captain America by Joe Simon and Jack Kirby
Produksi: Paramount Pictures
Release Date: 22 July 2011
Beberapa tahun belakangan ini memang banyak film superhero yang bermunculan. DC Comics dan Marvel seolah berlomba-lomba memamerkan karakter komik mereka ke layar lebar, salah satunya adalah Captain America. Film ini memang tidak berdiri sendiri. Marvel membuatnya sebagai pengenalan sebelum semua jagoan Marvel muncul dalam THE AVENGERS nanti.
DC versus Marvel, dua raja penerbit komik ini sebenarnya secara halus berseteru dalam persaingan mereka. But noted. DC bisa jadi sangat bangga dengan Superman dan Batman yang jadi ikon teratas ketika kita menyebut ‘superhero’, tapi sejarah mencatat naik turun kesuksesan mereka jauh lebih sering terombang-ambing dari sang saingan. Sementara Marvel, dengan line up utamanya yang kalau mau dihitung satu-satu lebih banyak menelurkan karakter legendaris ketimbang DC, mulai menapak semakin mantap di era milenium baru setelah status kebangkrutannya. DC boleh menorehkan sejarah lewat Superman Christopher Reeve meski kendur di film ketiga dan keempatnya, pernah punya Batman Tim Burton sampai melahirkan trend baru pendewasaan genre superhero di Batman-nya Christopher Nolan yang lantas kepingin ditiru semua produser, termasuk franchise baru Superman.
Sebagai salah satu superhero paling terkenal dari Marvel, kemunculan Captain America di layar lebar merupakan sesuatu yang selalu ditunggu dengan antusias. Tapi, semua orang tahu, di tangan orang yang salah, film adaptasi superhero bisa berubah menjadi sebuah bencana sinematik. Bila dua dekade lalu Hollywood pernah mengecewakan para fans cerita komik ini dengan Captain America (1990) yang hasilnya amburadul, tahun ini Joe Johnston berusaha untuk kembali memenangkan hati penonton dengan penggambaran segar dari seorang pahlawan super yang kuat, idealis dan rendah hati.
Saya bukan fans dari pahlawan super Amerika satu ini, tetapi mengetahui bahwa ia menjadi kepingan puzzle terakhir dari proyek superhero raksasa nan ambisius Marvel Studios itulah yang membuat alasan terbesar saya kemudian cukup antusias menunggu kemunculannya tahun ini. Ya, inilah Captain America: The First Avenger, sebuah ajang pemanasan sebelum sekelompok besar superhero yang tergabung dalam The Avengers menghentak kita tahun depan.
Tiap film superhero punya background tersendiri bagaimana sesorang tersebut bisa terpilih menjadi hero. Tapi di antara semua film superhero summer ini, seperti Thor, Green Lantern, dan X-Men: First Class, Captain America mempunyai cerita awal yang paling menginspirasi. Bisa dilihat dari betapa suramnya hidup Steve Rogers yang susah mendapat wanita, menjadi bahan bulan-bulanan, dan yang paling sakitnya adalah berkali-kali ditolak untuk bisa ikut dalam pasukan militer.
Steve Roger tipikal karakter seorang pahlawan sejati dalam cerita komik yang memulai segalanya dari bawah layaknya si manusia laba-laba Peter Parker. Yatim piatu, seorang underdog yang sering ditindas karena fisiknya yang lemah, dalam kasus Roger ia penderita asma dengan ukuran tubuh kurus-pendek membuatnya kesulitan bergabung membela negara sebagai seorang tentara walaupun sebenarnya ia adalah seorang pemuda yang sangat berani dan baik hati, apalagi dalam hal menjunjung tinggi paham kebenaran dan impiannya untuk melindungi sesama.
Modal kebaikannya-lah yang menakdirkan Steve untuk dipilih oleh seorang ilmuwan, Dr. Abraham Erskine (Stanley Tucci), yang sedang mencari sukarelawan untuk eksperimennya. Steve sendiri bukan seorang yang tangguh, selain penyakitan, tubuhnya kurus dan pendek, di-bully pun sudah menjadi santapan setiap hari, sampai dia ingat di gang mana dia pernah dipukuli. Namun Erskine tidak melihat fisiknya, dia mencari calon “prajurit” yang punya hati, dan Steve yang bolak-balik mendaftar diri sebagai tentara tapi selalu ditolak ini adalah pilihan nomor satu Erskine. Setelah melalui serangkaian tes dan latihan, Erskine semakin yakin Steve adalah orang yang tepat, walau Colonel Chester Phillips (Tommy Lee Jones) yang melatih para sukarelawan untuk proyek super-soldier ini tidak yakin terhadap pria kurus di hadapannya. Tapi ketika melihat Steve dengan tubuh kecilnya menutupi granat yang dilempar sang kolonel, sedangkan yang lain berlarian, itu menjadi bukti bahwa dibalik tubuh kurus tersebut, tersembunyi kekuatan besar, yaitu hati dan juga keberanian.
Steve selalu punya insting untuk melindungi orang lain, Erskine pun tidak ragu memberi kekuatan besar kepada Steve, karena dia yakin jika seseorang pernah merasakan menjadi lemah, seperti Steve, dia tidak akan lupa jati dirinya walau sudah memiliki kekuatan yang besar sekalipun. Maka dimulailah eksperimen mengubah Steve menjadi seorang prajurit super, jika berhasil, kemungkinan ini akan menghentikan ambisi Hitler dan tentara Nazi-nya untuk menginvasi dunia dengan terornya, menyudahi perang dunia ke-2. Eksperimen tersebut ternyata berhasil, pria kurus yang kita lihat di awal sudah berubah menjadi Steve yang berotot berkat sebuah serum spesial bernama “vita-rays”. Sayangnya Erskine tidak diberi waktu untuk menikmati kesuksesannya, karena tiba-tiba fasilitas eksperimen yang rahasia tersebut disabotase oleh seorang agen Hydra, dan langsung menyerang Erskine. Sang dokter pun tewas, Steve yang marah langsung mengejar si penjahat, membuktikan jika serum tersebut tidak hanya membuat tubuhnya tambah besar, tapi ada kekuatan lebih besar dalam dirinya. si agen yang hendak melarikan diri dengan kapal selam kecil pun berhasil ditangkap, sayang dia keburu bunuh diri dengan menelan racun.
Tak lama kemudian tersiar kabar kalau seorang anggota Nazi bernama Red Skull (Hugo Weaving) ternyata punya rencana jahat untuk menguasai dunia dengan menggunakan benda berkekuatan magis yang dikenal dengan nama Tesseract. Steve Rogers terpaksa turun tangan untuk memburu Red Skull dan menjadi orang pertama yang bergabung sebagai The Avengers.
Memamparkan origin story tampaknya menjadi kewajiban buat setiap film superhero, dan untuk kasus Captain America: The First Avenger Joe Johnston mampu memulainya dengan baik sebelum memasuki adegan pertarungannya. Bagian yang memperkenalkan proses Steve Roger dari sosok lemah menjadi sosok tangguh Captain America itu mungkin menjadi bagian terbaik dan paling mengasyikan di sepanjang film berdurasi 2 jam lebih ini. Johston tahu benar bagaimana memperolok bentuk fisik menyedihkan dari Steve Roger yang sampai-sampai mampu membuat Colonel Chester Phillips (Tommy Lee Jones) menangis itu menjadi sebuah sugguhan menghibur.
Lalu bagaimana Captain America yang hidup di jaman dulu bisa bergabung dengan anggota Avengers lainnya di jaman modern? Semua bisa dijawab di sini. Membawa embel-embel “The Avengers”, film “Captain America: The First Avenger” ini nantinya lebih kental terasa layaknya sebuah prekuel, bagi film yang akan menyatukan Thor, Hulk, Iron Man, dan juga Captain America di 2012 nanti. Banyak detil-detil yang sengaja diekspos untuk mengajak penonton berkenalan dengan apa yang dinamakan “Marvel Cinematic Universe”, dimana nantinya ada karakter Marvel yang akan muncul di film Marvel lainnya. Sejak film “Iron Man”, walau tidak terlalu terlihat, dunia Marvel ini secara tidak langsung sedang mulai dibangun, kita untuk pertama kalinya melihat pemimpin SHIELD, Nick Fury (Samuel L. Jackson) di film itu (walau tersembunyi setelah credit selesai). Di “The Incredible Hulk” pun demikian, kita bisa melihat Tony Stark menjadi “cameo”. “Iron Man 2” pun semakin membawa kita ke tahap selanjutnya dari Marvel Universe, yang kadang kita harus jeli melihatnya, ada yang masih ingat kalau perisai Captain America dijadikan “tatakan” oleh Tony Stark, dan di film ini pun untuk pertama kalinya kita akan diperkenalkan dengan Natasha Romanoff atau Black Widow, sedangkan Nick Fury kebagian peran lebih banyak disini. Dengan cerdas Marvel sedang membuat dunia indahnya yang dipenuhi superhero-superhero hebat, yang nantinya, Iron Man dan kawan-kawan akan disatukan dalam “The Avengers”.
Kembali ke “Captain America: The First Avenger”, Johnston kali ini mampu membuat setting masa lalu, tepatnya masa perang dunia ke-2 yang meyakinkan, sekaligus artistik dan menawan. Gambar-gambar retro tersebut pun mampu dileburkan dengan cerita yang ditulis oleh Christopher Markus dan Stephen McFeely, menurut saya pun pembagian porsi cerita diseimbangkan dengan aksi-aksi heroik sang kapten nantinya dan semuanya pun sama-sama punya level hiburan yang sejajar. Cerita yang merangkai asal mula Steve Rogers dari “zero to hero” pun diceritakan dengan menarik, memberikan waktu kepada penonton untuk mengetahui latar belakang pria yang kelak menjadi super-soldier tersebut. Alhasil penonton juga tidak begitu saja disodorkan seorang superhero, yang hanya pintar membuat kita terpukau dengan aksi patriotiknya melawan kejahatan, tapi seorang pahlawan yang kekuatannya juga berasal dari rasa simpati dan dukungan penontonnya. Apalagi Chris Evans betul-betul dapat menyatu dengan karakternya, sama seperti apa yang dilakukan oleh Robert Downey, Jr, ketika bertransformasi menjadi Tony Stark alias si Iron Man, bedanya Steve Rogers tentu lebih “rendah diri”.