Senin, 05 April 2010

Alice in Wonderland

Cast: Johnny Depp, Mia Wasikowska, Anne Hathaway, Helena Bonham Carter, Michael Sheen, Matt Lucas, Crispin Glover, Stephen Fry, Alan Rickman
Director: Tim Burton
Writer: Linda Woolverton base on novel Lewis Carroll
Produksi: Walt Disney Picture
Release Date: 5 Maret 2010


Kisah dibuka dengan Alice kecil yang selalu mengalami mimpi yang sama berulang-ulang, tentang suatu tempat asing yang memiliki kelinci putih, kucing tersenyum, ulat bulu besar berwarna biru, dan makhluk aneh lainnya. Beruntung sang ayah adalah seorang yang imaginatif dan selalu mengatakan bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini. Tiga belas tahun kemudian Alice Kingsley (Mia Wasikowska) telah beranjak remaja, ayahnya telah meninggal dunia. Ia tengah berada dalam sebuah situasi dimana sang ibu dan saudara perempuannya memaksa agar ia mau menikah dengan pemuda bangsawan yang aneh. Ketika pemuda tersebut ingin melamarnya, tiba-tiba saja Alice melihat kelinci putih yang selalu ada dalam mimpinya sejak kecil. Ia mengikuti kelinci tersebut sampai akhirnya terperosok dalam sebuah lubang yang membawanya ke Underland. 


Lalu disana Alice bertemu dengan The Mad Hatter (Johnny Depp) yang memberitahunya kalau ia lah yang ditakdirkan membantu The White Queen (Anne Hathaway) untuk merebut kembali haknya sebagai pemimpin Underland dari tangan jahat The Red Queen (Helena Bonham Carter). Disana Alice juga bertemu dengan makhluk yang sudah sering ia lihat dalam mimpinya seperti Tweedledee/Tweedledum, Cheshire Cat, Blue Caterpillar, White Rabbit, dan makhluk lainnya. Lalu dimulailah petualangan Alice!

Alice in Wonderland adalah sebuah film yang berawal dari novel terkenal dari Lewis Carroll di tahun 1865. Di tahun 1951, Walt Disney mengangkatnya menjadi serial kartun ‘teraneh’ yang pernah saya tonton. Buat saya, Alice in Wonderland versi kartun ini adalah salah satu kartun ‘terberat’ untuk konsumsi anak-anak.

Alice in Wonderland versi ini merupakan penggabungan dari dua seri novel Alice yaitu Alice’s Adventure in Wonderland dan Through the Looking Glass. Sehingga tidak aneh jika Tweedledee dan Tweedledum yang cuma muncul di Through the Looking Glass malah muncul di versi ini. Bertahun-tahun kemudian, di tahun 2010 tersebutlah kolaborasi terhebat yang pernah dibuat. Film Alice in Wonderland telah jatuh ke tangan salah seorang sutradara terhebat yang pernah hidup, yang telah berhasil menghidupkan seri lagendaris lain, Roald Dahl’s Charlie and the Chocolate Factory menjadi nyata. Sutradara tersebut adalah Tim Burton dan Alice in Wonderland mengundang kita semua ke sebuah tanggal ter-penting di tahun ini.

Sebagai seorang sutradara, Tim Burton selama ini memang dikenal sebagai seorang yang ahli dalam menggarap gambar-gambar yang unik dan menakjubkan serta selalu menerapkan beberapa selipan humor yang mungkin akan sedikit terasa aneh bagi beberapa orang. Di lain pihak, Lewis Carroll, lewat karya-karyanya, selalu dikenal sebagai seorang novelis yang mampu menggambarkan suatu daya khayal tingkat tinggi lewat kata-kata yang ia tuliskan. Wajar saja, jika dengan kemampuan yang ditunjukkan Burton selama ini, ia dianggap akan dapat mewujudkan daya khayal Carroll tersebut secara akurat lewat penggunaan teknologi visual tercanggih yang ada saat ini.

Pemanfaatan teknologi 3D sendiri oleh Burton sepertinya hanya menjadi sebuah gimmick di film ini. Beberapa adegan memang sangat terbantu oleh teknologi 3D tersebut, namun kebanyakan, pemanfaatan teknologi 3D di Alice in Wonderland tidaklah semaksimal apa yang dilakukan James Cameron lewat Avatar. Secara keseluruhan, teknologi 3D cukup membantu penonton untuk merasakan tingkatan keindahan yang lebih dalam daripada ketika film ini disaksikan dalam bentuk 2D, walau hal tersebut tidaklah begitu mengganggu.



Tidak seperti pencapaian visualnya, karya-karya Tim Burton memang seringkali dipenuhi oleh beberapa titik dimana jalan cerita film-filmnya terasa mengalami sedikit perpanjangan tanpa memberikan sesuatu yang berarti. Hal ini tidak terkecuali pada apa yang terjadi di Alice in Wonderland. Jalan cerita film ini berjalan cukup memikat semenjak film ini mulai berputar. Ditambah dengan iringan musik karya Danny Elfman, penonton akan dapat begitu menikmati jalan cerita dan ketegangan awal yang ditawarkan. Namun, ketika Alice mulai menjelajahi Wonderland, disitu pula tempo film ini sepertinya berjalan di tempat, terasa kekurangan konflik serta hanya berputar-putar di permasalahan yang sama. Untungnya, naskah cerita kemudian berjalan lagi seiring konflik akhir ketika White Queen akan segera berhadapan dengan Red Queen mulai bergulir.


Walau begitu, Burton beruntung ia memiliki bakat dalam memilih jajaran talenta yang pas untuk menghidupkan filmnya. Dipenuhi dengan nama-nama yang telah dikenal memiliki kualitas akting tingkat atas, para jajaran pemeran Alice in Wonderland berhasil menghidupkan setiap karakter unik yang ada di dalam jalan cerita secara komikal. Helena Bonham Carter akan membuat setiap orang terpukau dengan caranya menginterprestasi Red Queen dengan teriakan-teriakan khasnya. Anne Hathaway juga melakukan suatu hal yang unik lewat caranya menggambarkan White Queen: seorang wanita cantik dan jelita seperti yang ia pernah gambarkan di The Devil Wears Prada namun memiliki kepribadian gelap seperti yang pernah ia gambarkan di Rachel Getting Married. Johnny Depp, seperti biasa, akan selalu mampu menangani karakter komikal seperti The Mad Hatter. Aktris Mia Wasikowska, yang berperan sebagai Alice dan memiliki jam terbang lebih rendah daripada aktor dan aktris senior lainnya, ternyata juga mampu memberikan padanan akting yang sesuai dan tidak mengecewakan. Pemeran pendukung lainnya, yang kebanyakan hanya menampilkan talenta suara mereka, juga mendukung agar film ini menjadi sangat dapat dinikmati dan menghibur.


Banyak kalangan sudah mengadaptasi kisah ini ke dalam format lain. Setidaknya tercatat 23 produksi dalam format film, dengan salah satu berbentuk film dewasa. Lalu, terdapat sembilan komik adaptasi, dan 19 versi yang diterbitkan dalam bentuk buku. Kisah petualangan Alice di Wonderland memang bukan cerita baru. Lewis Carroll telah menulis kisah ini di tahun 1865 dan setelah lewat seratus tahun, kisah ini tetap saja jadi salah satu kisah yang cukup menarik. Sebenarnya kalau mau jujur, kisah Alice di Wonderland ini bukanlah murni cerita untuk anak-anak. Kisah yang ditulis Lewis Carroll ini terlalu ‘suram’ untuk ukuran anak kecil. Banyak metafora yang tak akan dipahami anak kecil dan sepertinya itulah yang ingin dikomunikasikan Tim Burton kali ini.

Langkah pertama adalah membuat versi plesetan dari kisah klasik ini dan membuatnya lebih bisa diterima generasi sekarang. Tokoh Alice dibuat lebih dewasa dan bukan lagi anak-anak seperti dalam kisah aslinya. Setelah itu Tim memilih aktor dan aktris berkualitas seperti Johnny Depp, Anne Hathaway, dan Helena Bonham Carter lengkap dengan para pakar special effect dan bagian produksi yang juga sama andalnya. Setelah semua beres, barulah Tim Burton bebas mengekspresikan penafsirannya atas Wonderland atau yang di sini disebut Underland.


Cerita Alice in Wonderland bemula dari dongeng spontan yang dibuat oleh Charles ketika menemani tiga anak kecil dari rekan dosen Henry Liddell, Dekan Gereja Kristus Oxford, berperahu ria di sungai Thames dalam perjalanan piknik menuju Godstow. Ketiga anak tersebut adalah Alice Liddell, yang sudah lama mempesona Charles, dan kedua adik perempuannya. Untuk memeriahkan suasana perjalanan, Charles mengarang spontan sebuah cerita dongeng tentang petualangan seorang gadis kecil sambil menambahkan hewan-hewan yang mereka lihat selama perjalanan ke dalam cerita. Dalam perjalanan piknik musim panas itu, ketiga anak kecil tersebut merasa terkesima dan menyukai cerita karangan Charles. Ketika mereka kembali ke Oxford, Alice mengucapkan terima kasih untuk cerita menakjubkan tersebut dan meminta Charles menuliskan ulang dongengnya ke dalam sebuah buku, “Oh, Mr. Dodgson, I wish you would write out Alice’s Adventures for me!

Charles merasa tertarik dengan usulan Alice dan kemudian menulis kembali dongeng tersebut sambil menambahkan beberapa rincian-rincian kecil. Sesudahnya, ia merasa perlu menambahkan ilustrasi dan ia pun mengontak Sir John Tenniel, kartunis terbaik saat itu. Anehnya, interpretasi Tenniel terhadap karakter Alice agak berbeda lantaran Alice yang asli memiliki warna rambut hitam sementara dalam ilustrasinya ia justru berambut pirang. Setelah segalanya selesai, Charles pun mempersembahkan Alice in Wonderland edisi pertama kepada gadis kecil yang terhibur oleh ceritanya dan kemudian menerbitkannya lewat penerbit MacMillan Persis seperti reaksi anak kecil di atas perahu, novel petualangan Alice meledak luar biasa di pasaran dan mendapat sambutan yang sangat positif dari masyarakat Inggris pada saat itu. Cerita ini sukses lantaran ini adalah karya sastra yang pertama kali diciptakan semata-mata untuk hiburan anank-anak dan lepas dari pesan-pesan moral yang waktu itu dianut oleh kebanyakan pengarang dimasa Victorian. Bahkan, para pengarang pada zaman itu malah memuji Charles atas kelihaiannya dalam memainkan bahasa, penuh dengan teka-teki, plesetan homofon dan homonim, serta permainan kata-kata. Alice pun kemudian menjadi bagian penting dalam kehidupan kanak-kanak hingga kini.

Cerita petualangan ini juga menarik dibaca lantaran pembaca utamanya, kaum anak-anak, berbagi sifat yang serupa dengan Alice. Alice digambarkan sebagai anak kecil dengan rasa ingin tahu yang luar biasa besar namun tetap memiliki kepolosan berpikir. Hal ini terlihat jelas pada bagian dimana Alice mencoba meminum sebuah ramuan yang ia sendiri belum tahu memiliki dampak apa terhadap dirinya, kemudian ia mengecil dan membesar berulang kali karenanya. Kepolosan berpikir ala anak kecil diperlihatkan pula oleh Alice ketika ia bercerita tentang kucing peliharaannya, Dinah, kepada sekelompok hewan yang dijumpainya. Dengan polosnya pula ia menceritakan ketrampilan Dinah dalam menangkap tikus atau kadal sehingga membuat kawanan hewan tersebut gempar dan terpontang-panting lari menyelamatkan diri. Lucunya, Alice sendiri merasa heran dengan hal tersebut. Kepolosan dan kesederahanaan berpikir in selalu ditunjukan Alice sepanjang petualangannya sehingga para pembaca kanak-kanak memiliki imajinasi mengenai sosok Alice yang tidak jauh berbeda dengan diri mereka. .

Lebih lanjut, Petualangan Alice mencapai kepoluleran dengan pesat dikalangan anak-anak karena konsep ceritanya mampu melambungkan benak pembacanya ke alam impian. Kita semua tahu kalau anak-anak senang berbicara sendiri atau bercakap-cakap dengan benda-benda yang ada disekitarnya. Contohnya, anak perempuan senang berbicara dengan boneka koleksinya sedangkan anak laki-laki bermain mobil-mobilan sambil berbicara sendiri, membuat khayalannya akan sebuah balapan. Anak-anak juga senang berbicara dengan binatang atau tumbuhan disekelilingnya. Semua hal ini diwujudkan lewat karakter Alice yang juga bisa berbincang-bincang dengan benda-benda yang ada disekitarnya. Contohnya, ia bersua dengan seekor kelinci putih yang dapat berbicara sendiri. Tidak sampai di situ saja, semua karakter binatang memiliki kemampuan berbicara dan bernalar layaknya manusia sungguhan--mulai dari tikus hingga seekor Gryphon. Lebih jauh lagi, ada pula karakter manusia kartu yang muncul--Queen of Heart, The Knave, dll. Keliaran fantasi Charles juga ditunjukan lewat kejadian lucu yang dialami Alice kala ia terjatuh ke dalam sebuah lubang yang paaaaanjang sekali sehingga Alice ia punya waktu panjang untuk berpikir. Lalu ada juga kejadian lucu dimana Alice bisa menyusutkan dirinya dan membesarkan dirinya sampai memanjangkan lehernya sendiri. Bagian cerita yang lain menunjukan Alice bermain croquet dengan menggunakan burung flamingo sebagai tongkat pemukul, bertemu dengan Mock Turtle yang selalu menangis, berjumpa dengan Mad Hatter yang pemarah, berkenalan dengan ulat kaki seribu yang mengisap hookah, sejenis shisa. Pendek kata, novel ini betul-betul menjelajahi fantasi anak kecil secara habis-habisan. 

Hal menarik lainnya dari novel ini adalah nilai-nilai yang layak menjadi panutan bagi anak kecil seperti keberanian, sikap terbuka terhadap perbedaan dan kesopan santunan. Biarpun kritik mengatakan tidak ada kandungan nilai moral, saya berpendapat kalau Charles memasukan pesan tersebut. Alice menjadisebagai gadis kecil dengan keberanian yang tidak kalah dari anak laki-laki. Hal ini terpapar jelas pada banyak bagian dimana ia berjumpa dengan hewan-hewan ukuran raksasa atau bertemu dengan tokoh-tokoh berwajah jelek. Alice menghadapi semua karakter dalam cerita ini dengan kepolosannya dan hanya memperlihatkan sedikit rasa takut. Lewat perjumpaan dengan beberapa tokoh, anak kecil belajar untuk tidak menilai sesuatu hanya lewat perbedaan yang kasat mata. Alice dalam cerita tidak pernah menunjukan sikap jijik atau merendahkan terhadap setiap karakter yang ia temui--baik terhadap Duchess yang berwajah jelek, Doormouse yang lamban, Gryphon yang berbentuk aneh, ataupun Mad Hatter yang berkarakter unik. Yah sesekali Alice menjadi kesal atau sedikit marah namun itu semua hanyalah sifat khas anak kecil. Sebaliknya, rasa ingin tahu Alice yang besar secara tidak sadar digunakannya untuk menepis perbedaan fisik yang kasat mata. Indahnya, Alice selalu bisa menampilkan kesopanan yang baik terhadap siapapun yang ditemuinya, sekalipun dengan Ratu Hati yang senang memberi perintah memenggal kepala orang.

Satu lagi yang membuat novel ini menarik adalah keberhasilan Charles dalam memasukan humor-humor dalam bentuk permainan kata, puisi tanpa makna, rima kata, dan matematika. Di bagian awal, Alice sudah tampil dengan permainan ucapan kata latitude dan longitude, yang sepertinya tanpa makna namun terdengar baik baginya. Atau Kelinci Putih yang bergumam, “Dear, dear! how queer today?” Kemudian, pembaca akan menemui puisi-puisi konyol, tidak bermakna, dibuat semata-mata untuk mempermainkan rima kata. Contohnya;

‘How doth the little crocodile
Improve his shining tail,
And pour the waters of the Nile
On every golden scale!’

Apalagi tokoh Hatter yang sering membuat kalima membingungkan nan lucu seperti dialognya dengan Alice, ‘...”I see what I eat” is the same thing as “I eat what I see”...’ yang kemudian ditimpali March Hare, ‘...”I like what I get” is the same thing as “I like what I get”...’ dan ditukas oleh Doormouse, ‘that “I breathe when I sleep” is the same as “I sleep when I breathe”!’ , Aristoteles bisa murka mendengar percakapan ketiga tokoh itu. :D Akan tetapi, buat anak-anak itu adalah hal yang terbaik karena bagi mereka menggunakan kalimat dengan logika sederhana memang menjadi hal lumrah dan membuat kepala orang dewasa pusing dibuatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar