Cast: Gerard Butler, Lena Headey, David Wenham, Vincent Regan, Rodrigo Santoro
Director: Zack Snyder
Writers : Frank Miller
Produksi: Warner Bros
Director: Zack Snyder
Writers : Frank Miller
Produksi: Warner Bros
Release Date: 9 Maret 2007
Berlatar 400 tahun sebelum masehi di mana ketika itu terdapat kerajaan kota Sparta. Di Sparta setiap anak lelaki dilahirkan untuk menjadi prajurit. Sejak lahir bayi-bayi laki-laki diperiksa apakah sehat dan normal atau tidak. Jika tidak normal maka akan disingkirkan. Karena hanya bayi laki-laki normal yang akan dibesarkan dan dilatih menjadi prajurit yang siap bertarung. Setelah anak-anak laki-laki itu berumur 7 tahun, mereka dikirim untuk bertempur dan “belajar” membiasakan diri berjuang mempertahankan dirinya. Tidak boleh ada tangis, keluhan yang pantas diucap atau bahkan diperlihatkan bagi semua kaum Sparta, termasuk dari kaum wanita.
Suatu ketika muncul utusan dari pasukan Persia yang datang dan menyampaikan pesan dari Raja Xerxes. Dalam adegan itu terdapat dialog yang menarik. Leonidas bertanya “Before you speak, Persian, know that in Sparta, everyone, even a king’s messenger, is responsible for the words of his voice. Now…what message do you bring?”. Utusan persia tersebut menjawab “Earth and water”.Terkejut dengan jawaban utusan Persia tersebut Leonidas menyela “You rode all the way from Persia for earth and water?” Kemudian Ratu Gorgo berkomentar “Do not be coy or stupid, Persian. You can afford neither in Sparta”.Karena tersinggung oleh ucapan Ratu Gorgo, utusan Persia itu bertanya“What makes this woman think she can speak among men?”Yang kemudian dijawab oleh ratu Gorgo” Because only Spartan women give birth to real men”
Di dialog tersebut terlihat bahwa Sparta tidaklah mau menyerah begitu saja. Leonidas juga tersinggung karena pertanyaan Utusan Persia tersebut yang mempertanyakan ucapan Ratu Gorgo pada dialog Leonidas dan Utusan Persia tersebut. Akhirnya “This is Sparta!!” teriak Leonidas sambil menendang utusan tersebut ke sumur yang sangat dalam beserta dengan pengikut-pengikutnya yang lain.
Walau menentang usulan Xerxes untuk menyerah Leonidas tidaklah bodoh. Dia sudah memikirkan untuk menyerang Persia di satu titik sebelum sampai di kota Sparta. Karena saat itu ada suatu keharusan bagi seorang raja yang akan berperang untuk pergi meminta restu dari Ephor, turunan manusia yang dianggap lebih istimewa ketimbang manusia biasa, termasuk seorang raja. Leonidas menghadap Ephor untuk meminta restu berperang. Ephor ini tinggal di suatu pegunungan, dan untuk mencapainya Leonidas perlu mendaki pegunungan yang memiliki tebing yang cukup terjal. Ada hal aneh dalam meminta restu dari para Ephor. Leonidas harus memberikan banyak emas dan wanita muda, cantik yang akan dijadikan “Oracle” atau pembawa pesan dari para dewa. Adegan Oracle yang dimasuki oleh para dewa ini cukup eksotis. Dan satu hal yang bisa membuat rating film menjadi Restricted bahkan NC-17.Setelah menjadi perantara pesan “Oracle” ini nantinya akan menjadi “santapan” bagi para Ephor yang bernafsu besar.
Ternyata berdasarkan pesan lewat Oracle, Leonides tak boleh memberikan perlawanan sedikit pun, bahkan ia malah harus menjalankan perayaan ritual Sparta tiap tahunnya di saat Persia akan menyerang. Tentu saja Leonidas tidak setuju dengan hal tersebut. Leonidas malah mengumpulkan pasukan terbaik dari Sparta sejumlah 300 orang. Hal ini dilakukan Leonidas yang akan menyerang pasukan Persia di balik dinding batu di sebuah pegunungan.
Leonidas menggunakan strategi dengan menggunakan tembok yang tinggi dan kuat untuk melindungi pasukannya. Peperangan pun dimulai. Pasukan Sparta yang berpakaian sangat minim ini terlihat begitu dominan. Pasukan Persia dibuat tak berdaya dan dibantai habis dalam setiap pertempurannya. Tak ada satupun pasukan persia yang masih dapat bertahan hidup. Slogan “no Mercy” dan No Prisoner” benar-benar dipakai oleh para pasukan Sparta tersebut. Adegan perang yang ditampilkan dalam film ini sangatlah sadis. Adegan saling tebas baik terhadap kepala atau badan musuh ditampilkan.
Pada awalnya Leonidas dan pasukannya tak sedikitpun mengalami kekalahan. Bahkan tak ada korban satupun dari pihak Sparta. Berbagai jenis pasukan dari seluruh penjuru Asia yang dikerahkan Xerxes belum ada yang mampu menaklukkan Leonidas.
Sampai pada akhirnya pun Xerxes mengunjungi Leonides dan menawarkan suatu “kerjasama”. Menjadikan Leonides sebagai penguasa seluruh Yunani namun ia harus menyerah pada Xerxes. Tawaran yang pastinya ditolak.
Sementara Leonidas bertempur, Ratu Gorgo berjuang untuk meyakinkan dewan Sparta untuk mengirimkan bala bantuan. Perjuangan untuk meminta bantuan ke dwan ini juga tidak mudah. Ada hal tertentu yang diminta salah satu anggota dewan untuk memuluskan rencana Ratu Gorgo. Namun sayang ternyata dalam dewan maupun di medan laga ada pengkhianat yang merugikan Leonidas. Sudah barang tentu hal ini menyulitkan Leonidas dalam mengakhiri perang dengan kemenangan. Mengenai ending film sepertinya sudah banyak yang mengetahuinya. Jadi tidak perlu diungkap lagi.
Jika dilihat-lihat film ini seperti paduan film trilogi Lord of The Ring, Kingdom of Heaven dan Troy. Hanya saja dalam film ini lebih menitikberatkan pada perangnya. Hal ini membuat adrenalin penonton bisa lebih terpacu. Film 300 ini dibuat dengan setting 400 tahun sebelum masehi didataran Yunani ini tidak banyak menggunakan set langsung di alam. Sangat banyak penggunaan blue screen dalam pembuatannya untuk memberi nuansa komik. Kalau sebelumnya anda pernah nonton Sky Captain and the World of Tomorrow (Jude Law, Gwyneth Paltrow dan Angelina Jolie) yang memakai blue screen juga, nuansa latar-nya hampir sama yaitu kurang alami.
Spesial efeck yang ditampilkan lumayan bagus. Adegan peperangan yang berlangsung sering ditampilkan dengan gerakan slowmotion yang membuat film ini jadi dramatis dan membuat adegan terlihat lebih detil. Sound efek yang mengelegar di sepanjang film pun menjadi salah satu faktor yang membuat adegan perang film ini menjadi semakin seru. sementara itu nuansa sephia mendominasi pada warna yang ditampilkan di film. Hal yang menambah suasana kelam dalam film ini.
Di balik megahnya film ini, ada kontroversi mengenai cerita dalam film ini. Ada dugaan bahwa terdapat muatan politis dalam cerita kekejaman bangsa Turki. Di film 300 ini memang ada penggambaran bahwa bangsa Persia adalah bangsa yang sadis. Bahkan katanya di Iran film ini dilarang, karena bangsa Iran sekarang adalah keturunan bangsa Persia.
Kemudian dari beberapa sumber yang pernah saya baca sepertinya bangsa Sparta dahulu belum kenal namanya demokrasi tetapi ada semacam dewan legislatif di film ini. Sparta yang pernah saya baca adalah bangsa yang sangat kejam juga dan militeristik jadi tidak kenal demokrasi.
Gabungan warna sephia plus adegan slow motion ketika pasukan Sparta menghunus tombaknya ke arah badak raksasa yang melaju membuat kita ikut menahan napas. Begitu pula adegan breathtaking saat hujaman jutaan panah milik pasukan Xerxes menutupi langit.
Sutradara muda Zack Snyder mungkin, mendapat kredit setelah menggarap "Dawn of the Dead". Tapi, mesin film ini tetap dipegang Miller, si kreator "Dark Night" dan "Sin City". Seolah, Miller menemukan gaya baru dalam menggarap film epik haus darah melalui teknik computer generated-nya.
Menurut para pengamat politik, film 300 termasuk agenda yang sudah diperhitungkan sejak jauh hari untuk mencoreng wajah Iran yang memiliki peradaban yang sangat tua. Sejarah peradaban Iran lebih dahulu muncul beberapa abad sebelum peradaban Eropa. Iran merupakan bangsa yang pertama kali mendirikan imperium di dunia. Pada saat itu, bangsa Iran berkuasa di berbagai kawasan yang meliputi Mesir hingga India, dan melintasi Teluk Persia hingga Yunani.
Selama 500 tahun, dinasti Achaemenian mempersembahkan berbagai karya besar untuk umat manusia. Instansi pos, bendungan air, kanal-kanal perairan dan jalur transportasi yang panjang adalah di antara inovasi dinasti ini. Pionir peradaban Achaemenian adalah seorang pendekar bernama Cyrus. Dalam sejarah, Cyrus juga tercatat sebagai pembebas kaum Yahudi dari kezaliman bangsa Babilonia. Pada 2500 tahun yang lalu, salah satu raja dinasti Achaemenian bernama Darius juga menguasai Terusan Suez.
Pasukan Abadi Persia yang lebih mirip dengan ninja. hal ini sangat berbeda sekali dengan sejarah dimana pasukan elit persia adalah memakai jubah berwarna ungu dengan perlindungan topi emas di kepalanya.
Dinasti Achaemenian pada akhirnya terpecah-belah setelah datangnya serangan dari Alexander Macedonia. Alexander berambisi untuk menguasai dunia, termasuk Iran, sehingga dia melakukan serangkaian ekspedisi perang ke berbagai wilayah. Alexander Macedonia menyerang Iran dengan membakar Istana Persepolis, yang merupakan simbol peradaban dunia zaman itu. Puing-puing istana itu hingga kini masih ada di Shiraz, selatan Iran. Kini, 25 abad telah berlalu sejak serangan Alexander dan Barat sebagai penerus ambisi Alexander kembali menggelar perang terhadap Iran melalui berbagai cara, termasuk melalui perangkat canggih Hollywood.
Kekaisaran Iran digambarkan sebagai Kekaisaran yang tirani dan arogansi dengan makhluk-makhluk buas yang mendukung kemiliterannya.
Sutradara muda Zack Snyder mungkin, mendapat kredit setelah menggarap "Dawn of the Dead". Tapi, mesin film ini tetap dipegang Miller, si kreator "Dark Night" dan "Sin City". Seolah, Miller menemukan gaya baru dalam menggarap film epik haus darah melalui teknik computer generated-nya.
Menurut para pengamat politik, film 300 termasuk agenda yang sudah diperhitungkan sejak jauh hari untuk mencoreng wajah Iran yang memiliki peradaban yang sangat tua. Sejarah peradaban Iran lebih dahulu muncul beberapa abad sebelum peradaban Eropa. Iran merupakan bangsa yang pertama kali mendirikan imperium di dunia. Pada saat itu, bangsa Iran berkuasa di berbagai kawasan yang meliputi Mesir hingga India, dan melintasi Teluk Persia hingga Yunani.
Selama 500 tahun, dinasti Achaemenian mempersembahkan berbagai karya besar untuk umat manusia. Instansi pos, bendungan air, kanal-kanal perairan dan jalur transportasi yang panjang adalah di antara inovasi dinasti ini. Pionir peradaban Achaemenian adalah seorang pendekar bernama Cyrus. Dalam sejarah, Cyrus juga tercatat sebagai pembebas kaum Yahudi dari kezaliman bangsa Babilonia. Pada 2500 tahun yang lalu, salah satu raja dinasti Achaemenian bernama Darius juga menguasai Terusan Suez.
Pasukan Abadi Persia yang lebih mirip dengan ninja. hal ini sangat berbeda sekali dengan sejarah dimana pasukan elit persia adalah memakai jubah berwarna ungu dengan perlindungan topi emas di kepalanya.
Dinasti Achaemenian pada akhirnya terpecah-belah setelah datangnya serangan dari Alexander Macedonia. Alexander berambisi untuk menguasai dunia, termasuk Iran, sehingga dia melakukan serangkaian ekspedisi perang ke berbagai wilayah. Alexander Macedonia menyerang Iran dengan membakar Istana Persepolis, yang merupakan simbol peradaban dunia zaman itu. Puing-puing istana itu hingga kini masih ada di Shiraz, selatan Iran. Kini, 25 abad telah berlalu sejak serangan Alexander dan Barat sebagai penerus ambisi Alexander kembali menggelar perang terhadap Iran melalui berbagai cara, termasuk melalui perangkat canggih Hollywood.
Kekaisaran Iran digambarkan sebagai Kekaisaran yang tirani dan arogansi dengan makhluk-makhluk buas yang mendukung kemiliterannya.
Dalam film 300 ini, Barat tak mempedulikan hasil riset-riset yang aksiomatis dalam sejarah. Film ini juga melupakan gaya hidup dan bentuk pakaian bangsa Iran. Dalam film ini, Khashayar Shah digambarkan mirip dengan orang-orang Afrika dan India. Perlu diketahui juga, kekerasan merupakan bagian dari perang. Untuk itu, sebuah peradaban tak bisa dilecehkan karena melakukan kekerasan dalam peperangan. Jika kita menengok sejarah Yunani kuno dan imperium Romawi, terdapat ribuan tragedi terkait pembunuhan massal, pembakaran hidup-hidup, dan kejahatan-kejahatan perang lainnya. Sejak 20 abad lalu hingga kini, nama raja-raja Romawi kuno seperti Nero dan Caligula tercatat dalam sejarah sebagai penguasa yang paling sadis dan peminum darah. Dinasti Sparta yang dibanggakan dalam film 300 ini malah justru tercatat sebagai pelaksana sistem arogansi, hegemoni, serta pelaku perang.
Tentu saja, pernyataan tadi bukan berarti membenarkan peperangan, melainkan untuk sekedar memberitahukan hakikat asli Dinasti Sparta yang diagungkan dalam film ini. Sementara itu, bangsa Iran beberapa abad setelah peperangan ini, akhirnya menjalani kehidupan baru dengan menerima ajaran Islam. Setelah menerima Islam, peradaban Iran semakin maju dengan munculnya perkembangan pesat di pelbagai bidang ilmu, sosial, dan politik.
Dalam menanggapi berbagai kritik terhadap film ini, pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film ini menyatakan, “Film ini menggambarkan perang antara bangsa Iran dan Sparta dipoles dengan data yang infaktual dan fiktif.” Namun, karena film ini telah mempermainkan identitas sejarah sebuah bangsa, film ini jelas telah melanggar etika dan menyinggung perasaan bangsa Iran. Tak heran bila kemudian muncul gelombang protes terhadap film ini dari bangsa Iran, baik yang tinggal di Iran maupun di luar negeri. Orang-orang Iran, dari berbagai agama, mazhab, dan haluan politik bersama-sama membela bangsa mereka yang telah dilecehkan oleh film ini.
Hollywood sebagai perusahaan film terbesar AS yang sekaligus representasi dari ambisi politik Washington di dunia perfilman, berusaha keras mencoreng peradaban besar Iran dan membangun opini umum dunia guna menyudutkan bangsa Iran. Hingga kini, meski telah dikritik banyak pihak, Washington masih tetap bersikeras pada kebijakan anti-Iran-nya itu. Sebagian pengamat politik menilai, niat AS untuk menyerang Iran seperti yang dilakukan Alexander di masa lalu, harus didahului dengan membangun opini terlebih dahulu. Untuk itulah, Hollywood sebagai alat politik Washington, memainkan perannya dalam mencoreng wajah bangsa Iran yang cinta perdamaian.
Terlepas dari segala kritikan teknis dan sejarah terhadap film ini, yang jelas, keagungan peradaban Iran sama sekali tak akan tergoyahkan oleh pembuatan film semacam ini. Sejarah manusia sangat berhutang budi kepada berbagai peradaban unggul, seperti peradaban Iran Islami, Yunani, Cina, dan Mesir. Di samping itu, kelanggengan peradaban manusia saling terkait erat dengan peradaban lainnya. Tak diragukan lagi, kritikan terhadap film ini tak hanya untuk membela bangsa Iran, tapi juga bisa dikatakan sebagai bentuk reaksi logis terhadap penyimpangan sejarah yang berkali-kali dilakukan oleh Hollywood demi menjaga interes Gedung Putih, karena Iran bukanlah satu-satunya korban dari pelecehan Hollywood.
Film 300 ini mulai dipromosikan di situs-situs sinema sejak akhir tahun 2006 dan dirilis pertama kali pada tanggal 9 Maret 2007. Dalam promosi film tersebut dikomentari bahwa penonton film ini akan melihat wajah lain bangsa Iran. Bangsa Iran cukup sensitif ketika melihat cuplikan-cuplikan film 300 yang ditayangkan untuk mempromosikan film tersebut, dan kini setelah film itu ditayangkan secara umum, mereka pun telah menangkap jelas tendensi di balik pembuatan film tersebut. Film 300 yang diproduksi oleh Warner Bross merupakan serangan yang tidak jantan dan pendeskriditan terhadap peradaban dan sejarah Iran.
Tentu saja, pernyataan tadi bukan berarti membenarkan peperangan, melainkan untuk sekedar memberitahukan hakikat asli Dinasti Sparta yang diagungkan dalam film ini. Sementara itu, bangsa Iran beberapa abad setelah peperangan ini, akhirnya menjalani kehidupan baru dengan menerima ajaran Islam. Setelah menerima Islam, peradaban Iran semakin maju dengan munculnya perkembangan pesat di pelbagai bidang ilmu, sosial, dan politik.
Dalam menanggapi berbagai kritik terhadap film ini, pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan film ini menyatakan, “Film ini menggambarkan perang antara bangsa Iran dan Sparta dipoles dengan data yang infaktual dan fiktif.” Namun, karena film ini telah mempermainkan identitas sejarah sebuah bangsa, film ini jelas telah melanggar etika dan menyinggung perasaan bangsa Iran. Tak heran bila kemudian muncul gelombang protes terhadap film ini dari bangsa Iran, baik yang tinggal di Iran maupun di luar negeri. Orang-orang Iran, dari berbagai agama, mazhab, dan haluan politik bersama-sama membela bangsa mereka yang telah dilecehkan oleh film ini.
Hollywood sebagai perusahaan film terbesar AS yang sekaligus representasi dari ambisi politik Washington di dunia perfilman, berusaha keras mencoreng peradaban besar Iran dan membangun opini umum dunia guna menyudutkan bangsa Iran. Hingga kini, meski telah dikritik banyak pihak, Washington masih tetap bersikeras pada kebijakan anti-Iran-nya itu. Sebagian pengamat politik menilai, niat AS untuk menyerang Iran seperti yang dilakukan Alexander di masa lalu, harus didahului dengan membangun opini terlebih dahulu. Untuk itulah, Hollywood sebagai alat politik Washington, memainkan perannya dalam mencoreng wajah bangsa Iran yang cinta perdamaian.
Terlepas dari segala kritikan teknis dan sejarah terhadap film ini, yang jelas, keagungan peradaban Iran sama sekali tak akan tergoyahkan oleh pembuatan film semacam ini. Sejarah manusia sangat berhutang budi kepada berbagai peradaban unggul, seperti peradaban Iran Islami, Yunani, Cina, dan Mesir. Di samping itu, kelanggengan peradaban manusia saling terkait erat dengan peradaban lainnya. Tak diragukan lagi, kritikan terhadap film ini tak hanya untuk membela bangsa Iran, tapi juga bisa dikatakan sebagai bentuk reaksi logis terhadap penyimpangan sejarah yang berkali-kali dilakukan oleh Hollywood demi menjaga interes Gedung Putih, karena Iran bukanlah satu-satunya korban dari pelecehan Hollywood.
Film 300 ini mulai dipromosikan di situs-situs sinema sejak akhir tahun 2006 dan dirilis pertama kali pada tanggal 9 Maret 2007. Dalam promosi film tersebut dikomentari bahwa penonton film ini akan melihat wajah lain bangsa Iran. Bangsa Iran cukup sensitif ketika melihat cuplikan-cuplikan film 300 yang ditayangkan untuk mempromosikan film tersebut, dan kini setelah film itu ditayangkan secara umum, mereka pun telah menangkap jelas tendensi di balik pembuatan film tersebut. Film 300 yang diproduksi oleh Warner Bross merupakan serangan yang tidak jantan dan pendeskriditan terhadap peradaban dan sejarah Iran.
Film ini mengambil latar belakang pertempuran Thermopylae, di mana Raja Leonidas mengerahkan 300 pasukan untuk menghadapi pasukan kolosal Raja Khashayar Shah. Namun pada akhirnya, pintu-pintu gerbang kota dapat dijebol oleh pasukan Iran dan kemudian pasukan Yunani mengalami kekalahan. Film ini mengangkat catatan dari Herodotus yang menyatakan, perlawanan selama tiga hari pasukan Spartan melawan pasukan Iran telah menimbulkan persatuan bangsa Yunani dan pembentukan pemerintahan demokratis.
Namun, pernyataan ini dibantah oleh Touraj Daryaee, seorang profesor Sejarah Kuno dari Universitas California. Dalam film ini orang-orang Sparta digambarkan sebagai pecinta demokrasi dan anti perbudakan. Padahal, sejarah menyebutkan, Dinasti Achaemenian di Iran mempekerjakan dan membayar para pekerja, tanpa memperdulikan etnik maupun jenis kelamin. Sebaliknya, pada zaman yang sama, hanya 14 persen orang-orang Yunani yang berpartisipasi dalan pemerintahan yang demokratis. Bahkan, pada saat itu, hampir 37% populasi Yunani adalah budak. Menurut Touraj Daryaee, Sparta adalah kerajaan militer, bukan pemerintahan demokratis dan bahkan memiliki sistem perbudakan.
Sutradara film 300, Zack Snyder, mengoptimalkan spesial efek yang luar biasa dalam film ini. Dengan melibatkan aktor-aktor nyata, bukan animasi, Snyder mampu memoles tayangan pertempuran dalam film tersebut sehingga terkesan seperti pertempuran yang nyata. Padahal, tayangan tersebut adalah hasil kombinasi permainan efek dengan latar belakang gambar-gambar. Namun demikian, para pengamat film tetap menilai negatif film tersebut dan sebagian menyebutnya sebagai film ala video game. Dalam film tersebut, pasukan Iran digambarkan seperti makhluk aneh dan juga dikesankan seperti robot yang tak berakal, yang tugasnya hanya membunuh manusia. Sebaliknya pasukan Yunani digambarkan sebagai pasukan yang cerdas.
Namun, pernyataan ini dibantah oleh Touraj Daryaee, seorang profesor Sejarah Kuno dari Universitas California. Dalam film ini orang-orang Sparta digambarkan sebagai pecinta demokrasi dan anti perbudakan. Padahal, sejarah menyebutkan, Dinasti Achaemenian di Iran mempekerjakan dan membayar para pekerja, tanpa memperdulikan etnik maupun jenis kelamin. Sebaliknya, pada zaman yang sama, hanya 14 persen orang-orang Yunani yang berpartisipasi dalan pemerintahan yang demokratis. Bahkan, pada saat itu, hampir 37% populasi Yunani adalah budak. Menurut Touraj Daryaee, Sparta adalah kerajaan militer, bukan pemerintahan demokratis dan bahkan memiliki sistem perbudakan.
Sutradara film 300, Zack Snyder, mengoptimalkan spesial efek yang luar biasa dalam film ini. Dengan melibatkan aktor-aktor nyata, bukan animasi, Snyder mampu memoles tayangan pertempuran dalam film tersebut sehingga terkesan seperti pertempuran yang nyata. Padahal, tayangan tersebut adalah hasil kombinasi permainan efek dengan latar belakang gambar-gambar. Namun demikian, para pengamat film tetap menilai negatif film tersebut dan sebagian menyebutnya sebagai film ala video game. Dalam film tersebut, pasukan Iran digambarkan seperti makhluk aneh dan juga dikesankan seperti robot yang tak berakal, yang tugasnya hanya membunuh manusia. Sebaliknya pasukan Yunani digambarkan sebagai pasukan yang cerdas.
Seorang kritikus film di koran New York Times menulis, Film 300 merupakan film yang bisa disetarakan dengan film Apocalypto yang disutradarai oleh Mel Gibson. Akan tetapi film 300 lebih konyol dua kali lipat dibanding film Apocalypto. Film ini cenderung menekankan penampilan luar. Dalam bagian film yang tak ada pertempuran dan pertumpahan darah, tubuh dan pakaian perang pasukan Yunani dan perhiasan-perhiasan pasukan Iran ditampilkan secara konyol.
Semakin jauh menyaksikan flm 300, akan kian nampak tendensi di balik pembuatan film ini. Koran Washinton Post menyebutkan, “Film 300 dikonsumsikan untuk penonton yang nalarnya rendah, bahkan dalam film itu sama sekali tak dijelaskan urgensi pengorbanan untuk menyelamatkan Thermopylae dan juga tak ada sedikitpun ulasan soal kekalahan telak Yunani dalam menghadapi bangsa Iran. Bagian film lainnya juga menampilkan parlemen Yunani yang menolak untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada Raja Leonidas melalui serangkaian perdebatan. Hal ini mengingatkan Kongres AS yang menolak kebijkan Presiden AS, George W Bush soal perang Irak.”
Seorang warga Iran setelah menonton film 300 menuliskan komentarnya di weblog pribadinya. Dia mengatakan, “Tanpa mempedulikan pemeranan karakter yang lemah dalam film ini, tema yang diangkat dalam film ini berkisar soal kebebasan dan perbudakan. Film itu juga menceritakan bahwa pasukan Iran menyerang Yunani untuk menjadikan bangsa Spartan sebagai budak dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia adalah dengan kemenangan bangsa Yunani. Ini mirip klaim yang digembar-gemborkan oleh AS dan sejumlah negara-negara arogan dunia. Di tengah-tengah upaya Iran untuk mengembangkan teknologi nuklir sipil, film tak bernilai semacam ini telah dirilis secara sengaja untuk mendiskreditkan bangsa Iran. Hal ini juga berkali-kali telah dilakukan oleh Hollywood dalam kondisi-kondisi sensitif, seperti film ‘Alexander’ yang sengaja dikemas untuk mengucilkan Iran.”
Pemerintah Iran sendiri secara resmi melalui Lembaga Budaya Republik Islam Iran telah meminta UNESCO untuk menindak dan melarang penayangan film 300 yang bertendensi mendeskriditkan peradaban dan sejarah bangsa Iran. Lembaga ini secara tegas menyatakan, “Dengan memperhatikan piagam UNESCO yang mengecam kebencian dan pertentangan, dan juga mengingat UNESCO sebagai pihak yang bertugas melindungi peninggalan kebudayaan dunia, maka lembaga internasional ini harus mengeluarkan reaksi terkait masalah ini.”
Warga Iran di seluruh dunia juga menggalang penandatanganan petisi online untuk memprotes penayangan film 300. Sebuah situs khusus juga dibuat untuk menampung kritikan para penonton film ini yang memprotes film tersebut. Hingga kini sudah banyak pihak yang membubuhkan tanda tangan sebagai aksi protes. Surat protes terbuka ini sengaja dimuat di situs ini dalam rangka mengecam arogansi Hollywood, dan langkah ini kian mendapat sambutan dari hari ke hari. Salah satu penggagas situs ini mengatakan, “Problema utama dalam film 300 adalah bahwa bangsa Iran dalam film ini digambarkan secara tidak realistis, dan sebuah bangsa besar dan beradab telah dikesankan negatif. Hal ini sama sekali tak bisa diterima.”
Propaganda yang dikemas dengan data bohong dan tendensius ini merupakan politik Barat dalam rangka menyudutkan bangsa Iran. Sangatlah jelas bahwa pencorengan terhadap nama baik bangsa Iran di mata dunia dan justifikasi atas politik perang Washington adalah tujuan di balik pembuatan film 300. Namun bagi orang yang mengenal peradaban agung Iran, pembuatan film semacam ini sama sekali tak mengurangi penghargaan mereka terhadap peradaban tinggi bangsa Iran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar